Halaman

Kamis, 02 Juni 2011

ANALISIS KEBIJAKAN SEKOLAH

Analisis Kebijakan Sekolah


Joni Warman

08050153

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN
IMPLEMENTASI UU NO 20 TAHUN 2003 YANG BERKAITAN DENGAN MASALAH KUALITAS PENDIDIKAN

A. PENGERTIAN
Secara alamiah dalam setiap pengambilan kebijakan oleh para penentu kebijakan pada dasarnya didahului dengan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai kondisi yang ada sehingga diperoleh bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai landasan dalam menetapkan kebijakan. Upaya untuk memahami kondisi yang ada dalam segala aspeknya dengan memanfaatkan segala data dan informasi terkait, menggunakan pendekatan ilmiah sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan untuk menentukan kebijakan disebut penelitian atau analisis kebijakan ( Balitbangdikbud, 2002, dalam Hafidh, 2009)

Bila analisis kebijakan dikaitkan dengan pendidikan, maka analisis kebijakan pendidikan adalah suatu prosedur ilmiah untuk menelaah dan merumuskan seluruh isu-isu dan permasalahan pendidikan berdasarkan analisa yang tajam dan metode berfikir yang kritis yang selanjutnya menghasilkan sebuah pemikiran atau rumusan yang berguna bagi kebijakan pendidikan (Hafidh, 2009).
Kebijakan pendidikan di Indonesia di hadapkan pada empat isu/tantangan pendidikan, yaitu kualitas pendidikan, demokratisasi/pemerataan pendidikan, Pengelolaan pendidikan/efisiensi, dan relevansi pendidikan.
Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksudkan adalah dalam konsep relatif, terutama berhubungan dengan kepuasan pelanggan. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu pelanggan internal dan eksternal (Kamisa, 1997, dalam Nurkholis). Pendidikan berkualitas apabila :
1. Pelanggan internal (kepala sekolah, guru dan karyawan sekolah) berkembang baik fisik maupun psikis. Secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finansial. Sedangkan secara psikis adalah bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan, bakat dan kreatifitasnya.
2. Pelanggan eksternal :
a. Eksternal primer (para siswa): menjadi pembelajar sepanjang hayat, komunikator yang baik dalam bahasa nasional maupun internasional, punya keterampilan teknologi untuk lapangan kerja dan kehidupan sehari-hari, inregritas pribadi, pemecahan masalah dan penciptaan pengetahuan, menjadi warga negara yang bertanggungjawab (Phillip Hallinger, 1998, dalam Nurkholis). Para siswa menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab akan hidupnya.
b. Eksternal sekunder (orang tua, para pemimpin pemerintahan dan perusahan); para lulusan dapat memenuhi harapan orang tua, pemerintah dan pemimpin perusahan dalam hal menjalankan tugas-tugas dan pekerjaan yang diberikan.
c. Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas); para lulusan memiliki kompetensi dalam dunia kerja dan dalam pengembangan masyarakat sehingga mempengaruhi pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Menurut Imron (2008), masalah kualitas pendidikan berkenaan dengan bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar bangsa Indonesia dapat mempertahankan eksistensinya. Dalam masalah ini tercakup pula masalah ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
B. TUJUAN
Isu kualitas pendidikan bersumber dari belum memadainya mutu pendidikan. Hal ini dapat dilihat dalam dua aspek: global dan nasional. Secara global, data dari International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IAEEA) tahun 2001 menunjukkan dari 27 negara yang distudi, siswa SD Indoneia berada pada peringkat ke 26 dalam hal kemapuan membaca. Demikian pula prestasi akademik siswa sekolah menengah yang berada pada peringkat ke-32 di bidang IPA dan ke-34 di bidang matematika dari 38 negara yang distudi. Di tingkat perguruan tinggi juga menunjukkan hal yang relatif sama.Hasil penelitian Asiaweek tahun 2000, menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi di Indonesia hanya menduduki peringkat bawah dari 77 perguruan tinggi di Asia dan Australia seperti UI (peringkat 61), UGM (68), Undip(73), Unair (75). Human Development Index 2002 yang diterbitkan UNDP menempatkan Indonesia pada peringkat bawah , bahkan di bawah vietnam (Arismunandar, 2005).
Secara nasional, terdapat variasi mutu pendidikan antar-provinsi yang menunjukkan adanya ketimpanganmutu antar-provinsi. Kelompok provinsi yang memiliki capaian mutu tertinggi berada di kawasan barat Indonesia, khususnya pulau Jawa, sedangkan yang memiliki capaian mutu rendah, berada di kawasan timur Indonesia(Arismunandar, 2005).
Kedua hal tersebut di atas menjadi tujuan dalam menganalisis kebijakan tentang masalah kualitas pendidikan. Bagaimana upaya untuk menyeimbangkan dan meratakan kualitas pendidikan di Indonesia dengan tantangan otonomi daerah dan ketimpangan pembangunan yang terjadi. Demikian pula dengan upaya mengejar ketertinggalan Indonesia terhadap bangsa-bangsa lain di dunia dalam hal kualitas pendidikan.
C. INDIKATOR PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
Implementasi perencanaan dalam rangka peningkatan mutu pada setiap jenjang pendidikan berkaitan erat dengan kajian indikator-indikator seperti;
1. NEM rata-rata siswa baru tingkat I dan lulusan;
2. Angka mengulang kelas;
3. Klasifikasi ( guru berkelayakan mengajar);
4. Jurusan Ijazah Guru;
5. Aktifitas guru dalam kegiatan MGMP/MGBS;
6. Kondisi ruang kelas;
7. Ketersediaan sarana dan prasarana;
8. Frekuensi pendayagunaan sarana;
9. Kelayakan satuan biaya sekolah; dan
10. Rasio buku siswa.
Dengan mencermati rumusan masalah berdasarkan analisis indikator tersebut, maka dapat disusun perencanaan untuk mengatasi masalah tersebut.
D. UU NO 20 TAHUN 2003 YANG BERKAITAN DENGAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
1. Peran serta masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan
Bab XV pasal 56 ayat 1 sampai 4
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

2. Pengembangan dan penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Bab IX pasal 35 ayat 1, 2, 3, dan 4 tentang Standar Nasional Pendidikan
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bab XIV pasal 50 ayat 2 dan 3
(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
3. Pengembangan Kurikulum Sesuai SNP
Bab X pasal 36 ayat 1
(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Bab X Pasal 38 ayat 3 dan 4
(3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
(4) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
4. Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Bab XI pasal 42 ayat 1, 2, dan 3
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bab XI Pasal 43 ayat 1, 2 dan 3
(1) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.
(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
5. Evaluasi Pendidikan
Bab XVI Pasal 57 ayat 1 dan 2
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
Bab XVI pasal 58 ayat 1 dan 2
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
6. Akreditasi
Bab XVI Pasal 60 ayat 1, 2, dan 3
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
(2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
(4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
7. Sertifikasi
Bab XVI Pasal 61 ayat 1, 2, dan 3
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
E. ANALISIS IMPLEMENTASI UU NO. 20 TAHUN 2003
1. Pengembangan dan penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)
Implementasi
a. Telah ditetapkannya delapan standar nasional pendidikan, mencakup standar isi, standar kompetensi lulusan, standar penilaian, standar pengelolaan pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, dan standar proses.
b. Dalam menetapkan sekolah yang telah mencapai standar nasional pendidikan, juga telah dibentuk BAN (Badan akreditasi Nasional).
c. Untuk menstimulus sekolah-sekolah tertentu dalam mencapai kriteria Sekolah Standar Nasional (SSN) dan SBI maka pemerintah telah melakukan pembinaan dan menyalurkan bantuan dana block grand . Bantuan tersebut digunakan sekolah untuk membiayai hal-hal yang masih perlu dikembangkan dalam mencapai delapan standar pendidikan.
d. Standarisasi dan perekrutan kepala sekolah dan pengawas sekolah
Analisis SWOT Kebijakan Pembinaan dan Subsidi sekolah Potensial Menuju SSN
Kekuatan
a. Telah ditetapkan delapan standar nasional pendidikan oleh BSNP sebagai acuan dalam melaksanakan penetapan, pembinaan, dan subsidi sekolah potensial menjadi sekolah SSN
b. Tersedianya dana subsidi yang memadai dalam anggaran pendidikan
c. Telah siapnya Kelembagaan dalam pembinaan dan akreditasi sekolah
d. Program ini langsung berhadapan dengan permasalahan pendidikan di tingkat sekolah yang perlu diatasi dalam rangka peningkatan mutu pendidikan
Kelemahan
a. Juklak dalam mengelola bantuan terlalu teknis dan membatasi ruang gerak penggunaan dana sehingga dapat keluar dari kebutuhan utama sekolah
b. Rendahnya kemampuan dan pemahaman pelaksana di sekolah dalam melaksanakan program ini.
c. Kurangnya supervisi dalam proses pelaksanaan program ini sehingga hasilnya kurang optimal
Peluang
a. Program subsidi ini sangat diharapkan dan diterima dengan antusias oleh sekolah, masyarakat, dan pemerintah daerah karena merupakan kesempatan bagi pihak sekolah/daerah untuk meningkatkan mutunya sesuai standar nasional pendidikan
Tantangan
a. Kurangnya moral/mentalitas/komitmen dari pelaksana program baik oleh lembaga yang menetapkan, membina dan mengakreditasi sekolah potensial maupun dari pelaksana program di sekolah terpilih.
b. Kurangnya komitmen dan partisipasi Dinas Pendidikan Kabupaten/kota dalam mendukung program ini
Rekomendasi
a. Pemerintah daerah, dalam hal ini dinas pendidikan perlu menanggapi dengan sungguh-sungguh kebijakan pemerintah tentang SSN ini. Perlu partisipasi dari pemerintah daerah dalam membantu upaya pembinaan dan pendanaan sehingga program ini mencapai hasil yang optimal. Tentunya ini menyangkut upaya meningkatkan alokasi dana pendidikan dalam APBD karena kebijakan ini menyangkut dana yang besar terutama dalam mewujudkan standar sarana dan prasarana serta standar pembiayaan pendidikan. Perencanaan yang matang dari dinas pendidikan kabupaten/kota terhadap program pengembangan sekolah potensial menuju SSN dapat menjaring dukungan dari anggota DPRD.
b. Upaya peningkatan alokasi pembiayaan dalam pengembangan sekolah potensial menuju SSN perlu sejalan dengan meningkatkan supervisi pendidikan oleh LPMP melalui kerjasama dengan pengawas pendidikan. Karena dalam salah satu tugas pengawas pendidikan adalah memantau upaya pencapaian delapan standar nasional pendidikan di sekolah.
Analisis SWOT Pelaksanaan Standarisasi dan Perekrutan Kepala Sekolah/Pengawas
Kekuatan
a. Standar pengawas sekolah dan standar kepala sekolah telah ditetapkan oleh BSNP sebagai bagian dari produk standar pendidik dan tenaga kependidikan. Standar ini memuat kriteria kualifikasi dan kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah dan pengawas
b. Perekrutan pengawas dan kepala sekolah sangat besar dampaknya pada peningkatan mutu pendidikan karena peran kepala sekolah dan pengawas yang sangat strategis sebagai supervisor pendidikan. Dalam standar kepala sekolah dan standar pengawas sekolah diatur bahwa mereka harus memiliki sertifikat pendidik dan sertifikat kepala sekolah/pengawas yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang
c. Lembaga yang berwenang membina dan menyeleksi serta memberikan sertifikat kepala sekolah/pengawas kepada calon kepala sekolah dan pengawas telah ditetapkan dan memiliki keahlian dan kemampuan yang baik (LPMP, APSI (Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia), dan Lembaga Pendidikan).

Kelemahan
a. Aturan proses seleksi kepala sekolah dan pengawas tingkat dinas pendidikan kabupaten/kota tidak jelas karena belum adanya juklak secara teknis.
b. Kurangnya kerjasama antara Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan LPMP dan APSI serta lembaga lain yang ditunjuk dalam melaksanakan sertifikasi kepala sekolah dan pengawas sekolah.
c. Masih kurangnya guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan dalam standar kepala sekolah dan pengawas sekolah pada beberapa daerah tertentu.
d. Dalam era otonomi, pengawas sekolah kurang diberdayakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Hasil pelaksanaan supervisi terhadap kinerja guru dan kepala sekolah kurang ditanggapi dan ditindaklanjuti untuk pembinaan, penghargaan dan mutasi. Hal ini menyebabkan peran dan fungsi pengawas yang strategis dalam supervisi pendidikan menjadi tidak berguna.
Peluang
a. Kebijakan mengenai standar kepala sekolah dan pengawas mendapatkan dukungan dari para pendidik dan stake holder sekolah . Dengan kebijakan ini, ada harapan terhadap perbaikan pengelolaan sekolah yang profesional. Selama ini banyak sekolah dikelola dengan manajemen tukang sate karena kompetensi, komitmen, dan moral pimpinan sekolah yang rendah akibat dari tidak jelasnya standar dan proses rekruitmen kepala sekolah dan pengawas.
Tantangan
a. Di beberapa daerah, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota tidak memiliki komitmen dan niat baik dalam melakukan rekruitmen kepala sekolah dan pengawas. Bahkan cenderung mengecilkan arti jabatan pengawas.
b. Proses rekrutmen kepala sekolah dan pengawas tidak dilaksanakan sesuai standar pengawas dan standar kepala sekolah yang telah ditetapkan. Karena adanya akomodasi kepentingan-kepentingan dari pihak tertentu di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Sehingga para pendidik yang terpilih adalah yang memiliki kompetensi dan kualifikasi yang rendah
c. Jabatan pengawas sekolah kurang diminati oleh pendidik yang memiliki kompetensi dan kualifikasi yang dipersyaratkan. Hal ini karena kurang diberdayakannya pengawas sekolah sehingga terkesan sebagi jabatan yang tidak penting. Selain itu kurangnya dukungan moril dan materil dalam melaksanakan tugasnya.
Rekomendasi
a. Dalam era otonomi daerah sangat diharapkan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota tanggap akan permasalahan pendidikan yang perlu dibenahi. Dalam permasalahan perekrutan pengawas dan kepala sekolah standar kualifikasi dan kompetensi pengawas dan kepala sekolah telah ditetapkan oleh pemerintah. Tindak lanjut dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota adalah menetapkan petunjuk pelaksanaan rekrutmen pengawas dan kepala sekolah. Dalam menetapkan aturan dan proses rekruitmen tersebut tentunya perlu kerja sama dengan LPMP.
b. Tangan kanan Dinas Pendidikan Nasional di provinsi, dalam hal ini LPMP, harus proaktif dalam memfasilitasi kebijakan ini pada setiap Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di wilayah kerjanya.
c. LPMP dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota adalah pihak yang sangat berkompetan dan bertanggung jawab untuk memberdayakan pengawas sekolah. LPMP memiliki tanggung jawab membina pengawas sekolah dan memberdayakan kemampuan supervisinya terhadap guru dan kepala sekolah. Selama ini LPMP kurang proaktif memperhatikan perekrutan dan pembinaan pengawas. Malah seakan-akan membiarkan ketakberdayaan pengawas sekolah dan memborong semua proyek pembinaan guru dan kepala sekolah.
2. Akreditasi Lembaga Pendidikan Formal dan Nonformal
Implementasi
Sebanyak 6.000 dari total 15.600 program studi yang ada di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, belum terakreditasi. Tahun 2010 ditargetkan ada 4.000 program studi yang akan diakreditasi, sisanya ditargetkan terakreditasi pada 2011. Jika masih ada program studi yang belum terakreditasi, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, mulai tahun 2012 program studi yang tidak terakreditasi akan ditutup.
Menurut Fasli Jalal (wakil Menteri Pendidikan Nasional), peraturan yang ada saat ini hanya mewajibkan program studi memiliki izin. Akreditasi baru menjadi pilihan. Namun, dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 yang akan berlaku tahun 2012, semua program studi harus terakreditasi.
Program studi yang belum terakreditasi termasuk program studi untuk jenjang S-2 dan S-3. Program studi yang tidak terakreditasi tidak berhak mengeluarkan ijazah bagi lulusannya. Setiap lima tahun, akreditasi harus diulang untuk memantau kualitas. Dengan akreditasi, diharapkan akan menjaga program studi tetap berkualitas.
Analisis SWOT Pelaksanaan Akreditasi Program Studi Perguruan Tinggi
Kekuatan
a. Peraturan teknis akreditasi dan lembaga pelaksana akreditasi telah terbentuk dan siap melaksanakan akreditasi
b. Keinginan pemerintah yang besar dalam meningkatkan kualitas perguruan tinggi di Indonesia
c. Merupakan solusi utama dalam upaya menyelesaikan permasalahan rendahnya kualitas output dan outcome perguruan tinggi karena maraknya pendirian perguruan tinggi dan pembentukan program studi yang tidak jelas kelayakan dan dasar tujuannya.
Kelemahan
a. Kurang tegasnya lembaga akreditasi dalam menerapkan aturan pemberian izin dan akreditasi suatu program studi. Akibatnya banyak perguruan tinggi yang memanfaatkan perilaku dan sikap masyarakat yang berpihak pada pendidikan instan dengan mendirikan program studi instan (cepat selesai yang penting bayar)
b. Tidak adanya mekanisme pengawasan dan penindakan terhadap perguruan tinggi nakal yang mengelola pendidikan instan walaupun statusnya sudah terakreditasi.
Peluang
a. Harapan masyarakat yang besar agar perguruan tinggi dan program studi yang tidak layak dan merugikan masyarakat segera ditertibkan. Kenyataan di daerah banyak perguruan tinggi masuk menawarkan program studi yang sedang tren sehingga memikat banyak mahasiswa, tetapi pada akhirnya ijazah yang dikeluarkan tidak dapat dipakai karena ilegal.
Tantangan
a. Masih banyak terjadi program studi atau perguruan tinggi yang sudah terakreditasi tapi melaksanakan proses perkuliahan secara instan atau menyimpang dari standar pelayanan pendidikan. Hal ini dilakukan baik perguruan tinggi swasta maupun negeri.
b. Kurang atau tidak tegasnya aparat atau lembaga akreditasi dalam menetapkan izin dan akreditasi program studi perguruan tinggi oleh karena intervensi kepentingan-kepentingan tertentu.

Rekomendasi
a. Proses evaluasi dan pengawasan program studi perguruan tinggi perlu dilaksanakan secara ketat karena walaupun telah terakreditasi masih ada saja oknum-oknum nakal di PT yang memanfaatkan kesempatan untuk meraih keuntungan dari sistem pendidikan instan.
b. Penindakan tegas terhadap perguruan tinggi nakal yang melakukan pendidikan instan terutama pada perguruan tinggi swasta yang terbukti banyak melakukan pelanggaran ini.
3. Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Implementasi
Pelaksanaan sertifikasi guru oleh pemerintah bertujuan memberikan stimulus kepada guru untuk berusaha meningkatkan kompetensinya. Sertifikasi dipandang perlu, menilik selama ini banyak keluhan tentang guru atau dosen yang ternyata berkompetensi kurang. Data Departemen Pedidikan Nasional tahun 2001 menyebutkan, lebih dari separuh guru yang dimiliki Indonesia belum memenuhi kualifikasi mengajar, baik dari segi ilmu atau ketrampilan. Karena itulah pelaksanaan sertifikasi tadi dianggap mendesak (Sutisna, 2007)
Dari hasil penelitian diketahui ternyata kompetensi guru yang telah lulus sertifikasi dengan yang belum lulus menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Artinya kebijakan ini tidak berhasil dalam menstimulus peningkatan kompetensi guru. Kalangan pemerhati pendidikan mengungkapkan bahwa kegiatan sertifikasi guru sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang masih rendah.
Sesuai dengan teori hierarki kebutuhan dari Maslow dalam Sule (2005), mengatakan pemenuhan kebutuhan manusia berlangsung secara hierarki berawal dari tingkatan yang paling bawah yaitu kebutuhan fisik, keamanan, sosial, penghargaan, dan akhirnya kebutuhan akan aktualisasi diri. Sehingga para guru perlu terlebih dahulu dicukupkan akan kebutuhan fisik, keamanan, dan sosial dalam bentuk peningkatan penghasilan yang signifikan. Para guru tidak mungkin mengejar kebutuhan penghargaan dan aktualisasi untuk bisa kompeten dan berprestasi dalam tugas pekerjaannya jika kebutuhan dasarnya belum terpenuhi.
Jika seorang guru ingin meningkatkan kompetensinya, dan mencapai kinerja/prestasi yang baik maka dia membutuhkan fasilitas seperti referensi buku-buku, majalah, surat kabar, komputer, internet, seminar, diklat, pendidikan, kursus, dll. Sedangkan semua itu tidak dapat diakses oleh seorang guru yang berpenghasilan sangat minim. Jangankan untuk keperluan menyekolahkan anaknya untuk kebutuhan pokok sehari-hari saja masih harus gali lobang tutup lobang.
Analisis SWOT Pelaksanaan Sertifikasi Guru
Kekuatan
a. Kebijakan ini menyangkut usaha meningkatkan kompetensi guru yang sudah lama menjadi permasalahan dunia pendidikan di Indonesia. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini para guru akan meningkatkan kualifikasi akademiknya dan kompetensinya.
b. Sistem pelaksanaanya didukung oleh peraturan yang telah ditetapkan dan lembaga pendidikan yang telah ada dan memiliki keahlian dan kredibilitas
c. Sistem kuota yang dilakukan memenuhi rasa keadilan untuk setiap daerah dan jenis guru.
Kelemahan
a. Proses sertifikasi melalui portofolio yang sangat sulit untuk menilai keaslian karya guru
b. Kurang siapnya aparat pelaksana di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam mendata dan menyusun daftar tunggu guru untuk sertifikasi sesuai kuota yang ditetapkan.
c. Berdasarkan pengamatan dan hasil penelitian, guru yang telah lulus sertifikasi melalui portofolio atau melalui diklat memiliki kinerja dan kompetensi yang tidak jauh berbeda bahkan ada beberapa guru yang lulus sertifikasi melalui portofolio menunjukkan kinerja yang rendah.
Peluang
a. Kebijakan ini sangat populer dikalangan pendidik karena berhubungan dengan usaha menambah penghasilannya sehingga kebijakan ini mendapat dukungan luas dari para pendidik bahkan masyarakat.
b. Tersedianya dana yang cukup dalam mendukung terealisasinya kebijakan ini.
Tantangan
a. Para guru banyak yang berusaha melengkapi portofolionya dengan segala macam bukti palsu demi lulus melalui jalur portofolio
b. Kebijakan ini berdampak buruk pada sebagian guru yang tidak dapat mengikuti sertifikasi karena masalah kualifikasi akademiknya yang belum S1. Mereka tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan,akhirnya menjadi menurun kinerjanya karena merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah.
Rekomendasi
a. Pelaksanaan sertifikasi guru profesional untuk mendapatkan tunjangan profesional seharusnya dilakukan dengan prosedur yang objektif bukan hanya melalui portofolio tetapi juga melalui ujian tulis, lisan dan praktik untuk mengukur secara objektif kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial guru tersebut
b. Pelaksanaan sertifikasi guru profesional dapat dilakukan jika pemenuhan kebutuhan dasar guru tercukupi. Saat ini gaji seorang guru belum dapat memenuhi kecukupan kebutuhannya sehingga yang lebih dulu perlu ditingkatkan adalah tunjangan fungsional guru secara signifikan.
c. sebagai jangka panjang, perlu dilakukan strategi untuk mencari bibit unggul dalam profesi keguruan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan pengakuan dan penghasilan yang lebih kompetitif bagi profesi guru, sehingga hal ini bisa memikat para lulusan terbaik dari SMA untuk melanjutkan ke program keguruan. Keberhasilan pendidikan Finlandia, tidak bisa dilepaskan dari faktor ini. Simola (2005) dalam Faqih (2007) mensinyalir bahwa program keguruan di Finlandia termasuk jurusan paling diminati oleh para lulusan terbaik SMA, sehingga wajar jika kebanyakan guru Finlandia merupakan bibit unggul yang berkualitas. Finlandia –yang berdasarkan laporan PISA 2000 dan 2003 menempatkan negara welfare state itu pada ranking pertama dalam hal ketercapaian kompetensi aplikatif siswa berumur 15 tahun dalam bidang literasi dan numerasi, justru faktor inovasi kurikulum, tidak berperan signifikan dalam menunjang keberhasilan pendidikan di Finlandia. Ketersediaan guru yang kompeten lah sebenarnya yang merupakan kunci sukses pendidikan di negara tersebut.
4. Evaluasi Pendidikan
Implementasi
Pada Pasal 3 PP No 1/2005 disebutkan, ujian bertujuan mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik. Sementara itu pada Pasal 4 ditegaskan ujian digunakan sebagai dasar penentuan kelulusan, pertimbangan dalam penerimaan siswa baru, pemetaan mutu, dan pertimbangan dalam akreditasi. Dari seluruh agenda penyelenggaraan tersebut yang menyebabkan terjadinya kontroversi adalah fungsi UN sebagai penentuan kelulusan siswa. (Rohmah, 2008)
Pemerintah mengharap bahwa dengan penerapan sistem standar nilai kelulusan ini, pemerintah dapat mengangkat mutu pendidikan di Indonesia. Hal tersebut kemudian menjadi sangat kontradiktif dengan apa yang ada pada pandangan pemerhati pendidikan di Indonesia atau bahkan dalam kacamata masyarakat itu sendiri. Bagi para pemerhati pendidikan, UN merupakan kesalahan interpretasi pemerintah dalam memahami evaluasi dari standard pendidikan nasional. Seperti apa yang disampaikan oleh Deni Hadiana (Perekayasa Pendidikan Litbang Diknas), bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan UN. Pertama, kesalahpahaman interpretasi terhadap UU Nomor 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas). Dan yang kedua, adalah UN belum mampu mencerminkan keadilan bagi peserta didik, hal tersebut bisa dilihat dari masih tingginya disparitas mutu pendidikan antar satu sekolah dengan sekolah lainnya, yang kemudian bisa melahirkan persaingan yang tidak sehat antar sekolah atau bahkan pihak sekolah akan melakukan kecurangan-kecurangan demi mencapai target standar kelulusan UN (Topeq, 2008).
Analisis SWOT Pelaksanaan Ujian Nasional
Kekuatan
a. Sangat berguna untuk mengetahui pemetaan mutu pendidikan dengan landasan itu dapat digariskan kebijakan lain untuk mengatasi permasalahan yang diidentifikasi dari hasil pemetaan mutu tersebut.
b. Ujian nasional adalah kelanjutan dari Ebtanas yang pelaksanaannya tidak jauh berbeda sehingga prosesnya sudah biasa dilakukan.
Kelemahan
a. UN merupakan kesalahan interpretasi pemerintah dalam memahami evaluasi dari standard pendidikan nasional. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas bab XVI Pasal 58, yang dapat melakukan evaluasi hasil belajar siswa adalah pendidik. Untuk evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dalam pencapaian standar nasional pendidikan, dilakukan oleh lembaga mandiri dari masyarakat.
b. UN belum mampu mencerminkan keadilan bagi peserta didik, hal tersebut bisa dilihat dari masih tingginya disparitas mutu pendidikan antar satu sekolah dengan sekolah lainnya, yang kemudian bisa melahirkan persaingan yang tidak sehat antar sekolah atau bahkan pihak sekolah akan melakukan kecurangan-kecurangan demi mencapai target standar kelulusan UN
c. Sistem penilaian melalui UN menghambat kreativitas berpikir anak dan kreatifitas guru dalam mengembangkan bahan ajar serta metode mengajarnya. Guru lebih banyak memfokuskan perhatiannya untuk menyiapkan anak menghadapi UN dengan latihan soal (dril) tanpa memperhatikan mutu proses pembelajaran.
d. Hasil penilaian yang dilakukan tidak relevan dengan kenyataan karena banyak campur tangan berbagai kepentingan.
Peluang
a. Anggaran pendidikan yang saat ini telah dapat direalisasikan 20% sehingga anggaran untuk UN tersedia.
b. Saat ini suasana bangsa Indonesia dalam gairah untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga segala usaha pemerintah dalam melaksanakan misi itu selalu mendapat perhatian dan dukungan dari masyarakat Indonesia bahkan dunia.
Tantangan
a. Banyak pakar pendidikan, pendidik, dan orangtua/masyarakat menentang pelaksanaan UN sebagai standar kelulusan siswa karena beberapa kelemahannya dari segi akademis dan dampak negatifnya.
b. Banyaknya kecurangan yang terjadi dalam proses pelaksanaanya yang juga melibatkan siswa, guru, pengawas, dan pengelola pendidikan di daerah.
Rekomendasi
Disparitas mutu pendidikan yang sangat besar antara kawasan timur Indonesia dengan kawasan barat Indonesia dan juga antara pedesaan dan perkotaan, menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan UN sebagai standar kelulusan siswa. Untuk tujuan peningkatan mutu pendidikan melalui standarisasi kelulusan siswa, UN belum relevan karena akar permasalahan sebenarnya adalah pada proses pendidikan yang belum dikelola dengan baik oleh guru dan kepala sekolah. Permasalahan proses pendidikan yang tidak bemutu karena kompetensi pendidik dan tenaga pendidikan yang rendah.
Salah satu penyebab rendahnya kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan adalah kurangnya penghasilan mereka. Dilihat dari sisi lain, rendahnya mutu pendidikan juga disebabkan oleh sarana-prasarana yang kurang memadai, pembiayaan pendidikan yang rendah, tidak meratanya penempatan guru dan lain-lain. Akar permasalahan tersebut yang perlu mendapat penanganan terlebih dulu sehingga kita mampu menyeimbangkan mutu pendidikan di Indonesia.
UN tetap relevan dalam rangka memetakan mutu pendidikan di Indonesia. Hasil pemetaan itu akan sangat berguna untuk mengidentifkasi permasalahan disparitas mutu pendidikan dan untuk menentukan kebijakan selanjutnya.
Berdasarkan uraian di atas maka rekomendasi kebijakan adalah sebagai berikut
a. Pelaksanaan UN perlu di revisi. Hasil UN perlu kembali diformulasikan dengan penilaian guru untuk mempertimbangkan penilaian guru secara komprehensif sebagai standar kelulusan siswa.
b. Pelaksanaan UN dilakukan bukan untuk tujuan standarisasi kelulusan siswa dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan tetapi terutama untuk tujuan pemetaan mutu pendidikan di Indonesia sesuai dengan tujuan evaluasi dalam pendidikan.
c. Perlu merevisi UU no 20 Tahun 2003 jika pemerintah tetap ingin menyelenggarakan UN sebagai usaha untuk pemetaan mutu pendidikan di Indonesia
d. Akar permasalahan nilai UN yang rendah adalah masalah rendahnya mutu proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang rendah karena kepala sekolah dan para guru tidak kompeten dalam mengelola dan melaksanakan proses pembelajaran. Untuk mengatasinya secara jangka pendek adalah dengan supervisi pendidikan. Memberdayakan pengawas pendidikan untuk mampu membina guru dan kepala sekolah meningkatkan kinerjanya. Sedangkan ke depan (jangka panjang) kita harus dapat merekrut calon-calon guru yang terbaik dari para generasi muda yang berprestasi dan cerdas. Tentunya dengan cara mensejahterakan para guru melalui penghasilan yang berkecukupan sehingga menjadi daya tarik para generasi muda cerdas tersebut untuk mau menjadi guru.
F. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis implementasi kebijakan pemerintah mengenai peningkatan mutu pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional telah cukup menaungi berbagi aspek yang mendukung terwujudnya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia
2. Imlementasi UU Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam peraturan pemerintah, peraturan menteri pendidikan, dan program-program pelaksanaannya, beberapa masih memiliki kelemahan. Kelemahan mencakup implementasi yang tidak menyentuh substansi masalah bahkan menimbulkan masalah baru, seperti pelaksanaan UN.
3. Implementasi kebijakan peningkatan mutu pendidikan yang berhasil dan dirasakan manfaatnya oleh praktisi pendidikan bahkan masyarakat adalah program bantuan blok grant calon sekolah standar nasional. Program ini berhasil untuk meningkatkan delapan standar pendidikan di sekolah-sekolah target.
4. Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang besar untuk mengelola dan memajukan pendidikan di daerahnya, namun ironinya, kebanyakan pemerintah daerah kurang tanggap dalam kewenangan ini dan cenderung hanya menunggu kebijakan atau bantuan dari pemerintah pusat.
5. Kurang tanggapnya pemerintah daerah dalam menyikapi kewenangannya mengelola pendidikan di daerahnya dapat dilihat dari kurangnya atau bahkan tidak adanya peraturan daerah dan program untuk menindak lanjuti kebijakan-kebijakan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Arismunandar. 2005. Manajemen Pendidikan Peluang dan Tantangan. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Standar Kepala Sekolah/Madrasah. Jakarta: BSNP
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. Jakarta: BSNP
Chan, Sam M. 2005. Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas
Faqih, Abdullah. 2007. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan. Online (http://abdullahfaqih.multiply.com/journal/item/5) Diakses 24 Maret 2010
Hafidh, Mudzakkir. 2009. Analisis Kebijakan Pendidikan . Online. diakses tanggal 24 Maret 2010
Imron, Ali. 2008. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan , Sebuah Panduan Prakti. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nurkholis, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Rohmah,Lilik Bidayati. 2008. UN Sebagai Standar Mutu Pendidikan. Online di akses tanggal 24 Maret 2010
Sule, Ernie Tisnawati dan Saefullah, Kurniawan. 2005. Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Sutisna, Nanang. 2007. Kebijakan Sertifikasi Guru Lebih Baik Diembargo. Online (http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/05/24/brk,20070524-100607,id.html) . Diakses 24 Maret 2010
Topeq, Rizky Riyadu. 2008. Ada Apa Dengan Kebijakan Pendidikan Kita?. Online (http://www.pdfqueen.com/pdf/an/analisis-kebijakan-pendidikan/) Diakses 24 Maret 2010

2 komentar:

  1. trperCaaiiia g tu smbernya??
    atau asal cmottt??

    BalasHapus
  2. insya allah terpercaya, tu dikutip dari berbagai sumber

    BalasHapus